Bahaya Mid-brain (otak tengah)
                     
                    
                    
      Perdebatan mengenai otak tengah;  perlu tidaknya otak tengah 
tersebut diaktifkan; terus terjadi. Masyarakat makin memahami pentingnya
 menyeimbangkan kedua belahan otak kanan dan kiri,  karena masing-masing
 belahan tersebut memiliki beragam fungsi yang saling mengisi dalam 
perjalanan panjang kehidupan seorang manusia. Ironisnya seolah belum 
puas dengan kekayaan kedua belahan otak kita, sekelompok ilmuwan mulai 
mengotak-atik dan mencari bagian lain, yang dinamakan 
otak tengah.
 Mereka mencari tahu apakah dengan mengaktivasi otak tengah kecerdasan 
seseorang akan makin bertambah, atau mengubah mereka menjadi jenius, 
serta memiliki berbagai kecerdasan lain yang
supra-natural? Di kalangan medis otak tengah ini dikenal sebagai bagian 
dari otak manusia yang memiliki fungsi sangat vital, misalnya sebagai 
pusat pengendali jantung, pembuluh darah, pernafasan, * refleks-refleks,
 dan masih banyak lagi. Berbagai tulisan ilmiah mengenai otak tengah ini
 bisa kita baca dalam berbagai tulisan sepuluh tahun terakhir.
Sayangnya sampai hari ini belum ada satupun publikasi ilmiah yang 
berani menyatakan bahwa aktivasi otak tengah berhubungan dengan 
kecerdasan seseorang, apalagi membuat IQ seseorang meloncat jauh 
melebihi IQ manusia pada umumnya, atau dikenal dengan istilah jenius. 
Dahulu orang berpikir bahwa kecerdasan identik dengan IQ, meskipun 
mereka mengetahui dalam test IQ yang diukur hanyalah kecerdasan 
seseorang di bidang matematika, linguistik dan sedikit visuo-spatial.
Saat ini wawasan kita mulai terbuka, melalui hasil penelitian Prof 
Gardner di tahun 1980an diketahui bahwa ada delapan  jenis kecerdasan 
yang berbeda yang bisa dimiliki oleh masing-masing  kita dalam porsi 
yang berbeda. Masing-masing kecerdasan tersebut menempati area yang 
berbeda di sisi kiri dan kanan otak kita. Kecerdasan yang bervariasi ini
 disebut Kecerdasan Multipel (Multiple Intelligence).
Mengaktivasi Otak
Ada cukup banyak cara yang biasa dipakai untuk mengaktivasi otak, 
misalnya dengan alunan musik klasik (yang paling poluler karya-karya 
Mozart), lagu-lagu / instrumentalia tertentu, gerakan-gerakan tubuh, 
menciptakan suasana tertentu, bermain dengan angka-angka, menambahkan 
berbagai bahan chemical, dan masih banyak cara lainnya. Banyak institusi
 menawarkan berbagai pelatihan yang menjanjikan untuk meningkatkan IQ 
tersebut, dengan memasukkan berbagai metode yang diyakini dapat 
menghilangkan tekanan mental para peserta selanjutnya
mempermudah pengaktifan bagian-bagian tertentu otaknya.
Beberapa ilmuwan mencoba mempelajari tentang otak tengah / mid brain.
 Harapan mereka sesudah penemuan yang mencengangkan tentang kiri dan 
kanan, sekaranglah saatnya mengungkap fenomena tentang otak tengah. 
Metode yang digunakan bukan sekedar cara-cara klasik seperti yang kita 
kenal di atas, karena program neuro-linguistik  (NLP) mereka
sisipkan demi sebuah proses aktivasi yang nantinya mengarah pada suatu keadaan extra sensory perception (ESP).
Suasana dibuat sedemikian rupa agar semua peserta yang ada di ruangan 
tersebut memasuki Alpha State, suatu fase dimana gelombang lambat di 
otak manusia, yang membuat seseorang mudah dipengaruhi dan diisi oleh 
berbagai hal oleh para instruktur. Metode yang cukup popular dikenal 
saat ini adalah BFR (blindfold reading).
Sebagai informasi, di Rusia diperlukan waktu satu tahun bagi seorang 
siswa untuk mampu melakukan aksi blindfold. Di Jepang, sedikitnya perlu 
waktu tiga bulan untuk melakukannya.  Ajaibnya di Indonesia suatu 
perusahaan pelatihan menyatakan hanya perlu waktu 12 jam untuk membuat 
anak-anak jenius!
Aktivasi dianggap berhasil apabila mereka berhasil mengenali berbagai
 macam benda dan halangan di sekitarnya dalam keadaan mata ditutup. 
Dengan demikian anak-anak tersebut akan mampu membaca, menggambar, 
menghitung, berlari dan menghindari semua rintangan tanpa menggunakan 
indera penglihatan mereka yaitu mata. Bahkan mereka berani menjanjikan, 
anak-anak akan memiliki kemampuan tembus pandang, menyusun kartu remi 
secara urut tanpa melihat, dapat membaca suatu dokumen rahasia di balik 
tembok, menghitung uang yang ada dalam dompet di saku baju seseorang, 
merangkum seluruh isi textbook dalam waktu singkat, memprediksi hal-hal 
buruk yang bakal terjadi esok, bahkan membaca pikiran orang-orang yang 
ada disekelilingnya agar tak mudah tertipu. Hal itu bagi mereka dianggap
 sebagai talenta manusia baru di jaman modern ini, karena memiliki 
kecerdasan tersendiri (jenius) dengan
kemampuan extra sensory perception (ESP), sehingga nantinya kita tak lagi tertarik menonton acara pertandingan sulap The Master.
Pandangan di atas tentu tidak begitu saja dapat dibenarkan, karena 
secara medis kita bisa mengenali fungsi fisiologi seluruh organ dalam 
tubuh kita. Mengaktifkan dan menciptakan seseorang untuk memperoleh 
pengalaman extra sensory perception sudah jauh melenceng dari ranah 
medis fisiologis. Bahkan hal ini erat kaitannya dengan terjadinya 
berbagai gangguan mental pada manusia, yang  salah satu gejalanya adalah
 mampu mendengar, melihat, merasakan dan membaca hal-hal yang tidak bisa
 didengar, dilihat, dirasakan dan dibaca oleh orang-orang sehat lainnya.
 Sebagai contoh pada kasus-kasus Skizofrenia pasien merasa yakin dengan 
kemampuannya membaca isi hati dan pikiran orang-orang lain di 
sekelilingnya, serta meyakini berbagai penglihatan dan pendengaran gaib 
yang bisa membuat orang lain berdiri bulu kuduknya.
Sampai hari ini belum ada satupun publikasi yang menyatakan bahwa 
otak tengah dapat diaktifkan untuk meningkatkan kecerdasan manusia, 
apalagi meng-upgrade nya menjadi jenius. Musa A. Haxiu & Bryan K. 
Yamamoto (2002) membuat suatu penelitian midbrain pada 24 ekor musang 
jantan. Hasilnya aktivasi midbrain di daerah periaquaductal gray (PAG) 
ternyata justru  mengakibatkan otot-otot polos pernafasan menjadi 
relaksasi, sehingga mengganggu pernafasan
hewan-hewan tersebut. Ada beberapa tahapan yang harus dilewati oleh 
suatu lembaga yang memiliki ide penelitian sebelum dilemparkan dan 
dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Minimal telah melalui 10 tahun 
percobaan di laboratorium (in vivo), setelah lulus uji klinis, barulah 
diujikan pada hewan-hewan percobaan dengan evaluasi sekitar 10 tahun. 
Pada tahap ketiga barulah diujikan pada para relawan (biasanya mereka 
dibayar) dan kembali dilakukan evaluasi. Dengan demikian dibutuhkan 
waktu sekitar 30 tahun untuk membawa suatu metode baru yang aman dalam
masyarakat.
Menurut Peter D. Larsen, Sheng Zhong, dkk. (2001) ada beberapa hal 
yang berubah karena aktivasi midbrain, misalnya tekanan arteri utama 
(mean arterial pressure), aliran darah di ginjal (renal blood flow), 
aliran darah di daerah paha (femoral blood flow), persarafan daerah 
bawah jantung (Inferior cardiac), per-syaraf-an simpatis dan denyut 
jantung akan makin meningkat, sebaliknya tekanan darah justru turun, 
aktivitas persarafan di daerah tulang belakang juga turun.
Peningkatan tekanan arteri, aliran darah ginjal dan paha tersebut bisa mencapai 328%.
Target dan evaluasi pembuktian kejeniusan sesudah aktivasi otak tengah
Sesudah melalui program latihan ini 
anak-anak akan mempunyi kemampuan untuk melihat dengan sentuhan (skin 
vision). Sebagian anak lainnya yang telah teraktifasi otak tengahnya 
mampu melihat kartu secara detail dengan penciuman atau pendengarannya. 
Sebagian lainnya mengatakan mereka mampu melihat, menulis, membaca, dan 
mewarnai di dalam kegelapan total. Selain itu mereka juga akan memiliki 
Loving Inteligence. Mereka adalah individu yang seimbang dan mengasihi 
orang lain seperti sang pencipta.
Bagaimana dengan harapan orang-tua yang 
telah mengirim dan membayar biaya yang cukup tinggi demi mengikutkan 
anak-anak mereka dalam pelatihan ini? Setelah sekian bulan tentu saja 
para orang-tua berharap anak-anak mereka akan memiliki prestasi akademik
 yang lebih baik. Secara teoritis, nilai sekolah seharusnya meningkat, 
karena selepas aktifasi otak tengah tersebut, memori dan konsentrasi 
akan meningkat dan cukup banyak potensi penting dalam diri anak yang 
akan dibangkitkan. Namun kenyataannya tidaklah sesederhana itu karena 
peningkatan kemampuan akademis ternyata tidak sesederhana yang 
dibayangkan.
Penelitian Bjorn H. Schott, Constanze I 
Seidenbecher dkk. (2006) menyatakan bahwa pada manusia, memory seseorang
 dipengaruhi oleh banyak faktor, jadi tidak sama dengan binatang. Telah 
dilakukan pembuktian secara anatomi dan behavior dengan mempergunakan 
alat MRI, diperoleh hasil yang tidak signifikan. Yang membedakan memori 
adalah
faktor genetik (kromosome 17q11 dan 7q36), hal ini dikenal sebagai 
polymorphisme dopamine pada kromosom. Hal ini yang tentunya menimbulkan 
keprihatinan tersendiri bagi masyarakat, karena sebelumnya orang-tua 
begitu antusias mengharapkan anaknya akan berubah menjadi anak-anak yang
 jenius dan memiliki banyak kemampuan lebih sesudah mengikuti program 
pelatihan otak tengah ini, lagipula orang-tua telah mengeluarkan 
sejumlah besar biaya.
Menurut Bjorn H. Schott, Daniela B. Sellner
 dkk. (2004) terdapat hubungan erat antara formasi memori di hipokampus 
dan neuro-modulasi dopaminergik, terutama di Ventral Tegmental Area 
(VTA) dan medial Substansia Nigra midbrain. Teknik yang dipakai untuk 
mengaktivasi otak disesuaikan dengan lokasi, memakai kata-kata yang 
menyenangkan,
hitungan-hitungan silabus, dan sebagainya. Namun aktivasi tersebut tidak relevan dengan tugas-tugas yang harus dipelajari.
Tulisan Hugo D. Critchley, Peter Taggart dkk. (2005) membuat kita terperangah, karena ternyata induksi lateralisasi aktifitas
 midbrain dapat mengakibatkan mental stres, serta berbagai stres lain 
yang akan memicu gangguan irama jantung dan kematian mendadak (sudden 
death). Penyebabnya adalah karena tidak seimbangnya dorongan simpatetik persyarafan jantung.
Perlukah aktivasi otak tengah?
Orangtua perlu menghargai setiap talenta yang dimiliki anak-anaknya, 
karena pada dasarnya semua anak adalah cerdas. Kecerdasan ini tidak bisa
 disamakan dengan IQ, karena saat ini kita telah mengenal delapan macam 
kecerdasan, yang dikenal sebagai multiple intelligence yang ada dalam 
diri manusia. Mereka yang tidak bisa matematika dan IQ nya rendah bukan 
berarti tidak cerdas, karena mungkin saja mereka memiliki kecerdasan 
inter personal yang baik.
Suatu tantangan bagi para orangtua dan kita semua yang memiliki anak,
 mampukah kita menghasilkan anak-anak yang bukan sekedar CERDAS, tetapi 
juga BAIK dan BERMORAL? Cerdas bahkan genius saja belumlah cukup. Karena
 dengan kecerdasan saja tidak menjamin mereka membuat dunia ini menjadi 
lebih baik. Banyak orang-orang cerdas justru mencelakai orang lain, 
memanipulasi suatu keadaan demi keuntungan dirinya sendiri.
Mengapa dalam waktu 12 jam pelatihan atau satu setengah hari saja 
anak-anak tersebut bisa berubah? Salah satunya adalah kenyataan bahwa 
anak-anak dengan perilaku bermasalah sebenarnya membutuhkan perhatian 
dari orangtua mereka. Dalam program pelatihan midbrain tersebut semua 
orangtua diharapkan memperhatikan anaknya, mau melatih
kembali anak-anak tersebut di rumah, termasuk setelah latihan selesai. 
Yang terjadi di sini sebenarnya adalah anak-anak tersebut dilatih untuk 
peka terhadap berbagai bahaya dan rintangan yang ada di depan, serta 
‘dipaksa untuk bersikap dan berperilaku lebih baik’ karena mereka telah 
diberikan teladan yang baik oleh orangtua dan orang-orang
dewasa di sekelilingnya.
Yang terjadi pada anak-anak tersebut sebenarnya bukan JENIUS 
(memiliki IQ yang sangat tinggi atau di atas 140), melainkan latihan 
untuk suatu kewaspadaan (AWARENESS) terhadap apapun yang ada di 
sekeliling mereka. Kondisi semacam ini perlu kita cermati lebih baik, 
mengingat kondisi awareness yang berlebihan akan membuat seseorang 
mengalami berbagai gangguan jiwa, dari gejala yang ringan berupa 
Gangguan Cemas Menyeluruh, sampai tipe berat berupa Gangguan Paranoid. 
Itulah sebabnya orangtua diminta waspada dan berhati-hati sebelum 
mengirim anak-anak mereka ke suatu institusi yang menawarkan sanggup 
mengubah anak-anak menjadi jenius dalam waktu singkat. Orangtua perlu 
menghargai setiap talenta yang dimiliki anak-anaknya, karena pada 
dasarnya semua anak adalah cerdas. Suatu tantangan bagi para orangtua 
dan kita semua yang memiliki anak, mampukah kita menghasilkan anak-anak 
yang bukan sekedar CERDAS, tetapi juga BAIK dan BERMORAL? Cerdas bahkan 
genius saja belumlah cukup. Karena dengan kecerdasan saja tidak menjamin
 mereka membuat dunia ini menjadi lebih baik. Banyak orang-orang cerdas 
justru mencelakai orang lain, memanipulasi suatu keadaan demi keuntungan
 dirinya sendiri.